Selasa, 13 Juli 2010

Analisis Jurnal

ANALISIS JURNAL GEOMORFOLOGI

Vol. 1 No. 3 September 2006: 115-128

Geomorfologi adalah ilmu yang mendeskripsikan, mendefinisikan, serta menjabarkan bentuk lahan dan proses-proses yang mengakibatkan terbentuknya lahan tersebut, serta mencari hubungan antara proses-proses dalam susunan keruangan (Van Zuidam, 1977). Sebaran akuifer dan pola aliran air tanah yang ada dalam bentuk lahan merupakan salah satu obyek kajian geomorfologi. Air bawah tanah adalah semua air yang terdapat dalam lapisan pengandung air di bawah permukaan tanah, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Pengelolaan air bawah tanah adalah pengelolaan dalam arti luas mencakup segala usaha inventarisasi, pengaturan, pemanfaatan, perizinan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan serta konservasi air bawah tanah.

Air bawah tanah saat ini sudah tidak lagi merupakan komoditi bebas tetapi telah menjadi komoditi ekonomi yang mempunyai peran penting bahkan di beberapa tempat menjadi strategis.

Pemanfaatan air bawah tanah yang terus meningkat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap air bawah tanah itu sendiri maupun lingkungan di sekitarnya, diantaranya berkurangnya jumlah dan mutu air bawah tanah, penyusupan air laut dan amblesan tanah. Agar pemanfaatannya dapat optimal tanpa menimbulkan dampak negatif, maka diperlukan pedoman perencanaan pendayagunaan air bawah tanah.

Cekungan air bawah tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi di mana semua kejadian hidrogeologi seperti proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air bawah tanah berlangsung. Akuifer atau lapisan pembawa air adalah lapisan batuan jenuh air di bawah permukaan tanah yang dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah

cukup, dan ekonomis.

Pengambilan air bawah tanah adalah setiap kegiatan pengambilan air bawah tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran, atau dengan cara membuat bangunan lainnya untuk dimanfaatkan airnya dan atau tujuan lain. Misalnya saja untuk mengadakan penelitian dalam rangka konservasi dan pemanfaatan lahan yang akan ditindaklanjuti dengan inventarisasi air bawah tanah. Inventarisasi air bawah tanah adalah kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, evaluasi, pengumpulan dan pengelolaan data air bawah tanah.

Nyoman Sumawijaya, dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mengungkapkan pada Prosiding Tridasawarsa Puslitbang Geoteknologi-LIPI tahun 1994, bahwa:

Pemompaan air tanah dari cekungan jakarta meningkat terus setiap tahunnya. Sampai dengan tahun 1985 pemompaan setiap tahunnya mencapai sekitar 100 juta m3. Pemompaan ini sudah melebihi kapasitas pengisian secara alamiah. Akibat pemompaan yang melebihi kapasitas pengisian secara alamiah maka telah terjadi penurunan muka air tanah secara terus menerus di cekungan Jakarta. Sampai dengan tahun 1910 tekanan hidrostatika yang dimiliki airtanah (piezometric head) masih melebihi tekanan atmosfer (muka airtanah sekitar 10 m diatas muka laut).

Penurunan muka airtanah secara tajam terutama terjadi sejak periode 1970-an. Data tahun 1985 menunjukkan kedudukan muka airtanah di beberapa tempat sudah mencapai 30 m di bawah permukaan laut. Dalam kurun waktu 10 tahun antara tahun 1975-1985 penurunan muka airtanah mencapai 15 m. Penurunan ini mempunyai beberapa dampak diantaranya adalah terhadap biaya eksploitasi. Kerugian ekonomis yang berupa penambahan biaya pembuatan sumur adalah Rp 0,250 milliar dan dengan debit pemompaan yang diperkirakan sekitar 100 juta m3 per tahun maka kerugian ekonomis yang berupa penambahan biaya operasi pemompaan adalah Rp 1,122 milliar per tahun.”

Ø Keputusan Menteri energy dan sumber daya mineral th 2000

Dari hasil penelitiannya dan fakta yang ditunjukkan maka terbitlah KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 yang terdiri dari 3 lampiran dan membahas khusus tentang Air tanah baik cara pengambilan data, prosedur dan teknik pengolahan sampai dengan pendayagunaan dan konservasinya.

Ø Penelitian Sebaran akuifer dan pola aliran air tanah di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda

Kota Tangerang, Propinsi BantenAdanya keputusan menteri tentang penginventarisasian dalam poin pasal 4 yaitu sebaran cekungan air bawah tanah dan geometri akuifer, pengambilan air bawah tanah dan pengelolaannya mendorong diadakannya penelitian Sebaran akuifer dan pola aliran air tanah di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda Kota Tangerang, Propinsi Banten.

Secara geologis, Kecamatan Batuceper dan Benda, Kota Tangerang termasuk dalam Cekungan Jakarta bagian barat, yang tersusun atas endapan aluvium pantai, endapan delta dan sebagian tersusun atas material gunung api. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran dan pola pengaliran air tanah baik dangkal maupun dalam, yang menjadi salah satu dasar untuk menentukan model geometri akuifer sebagai tempat menyimpan dan mengalirnya air tanah, dan selanjutnya digunakan untuk mengidentifi kasi konservasi air tanah.

Penelitian tersebut dilakukan dengan pendekatan survei geolistrik, pengamatan hidrogeologi di lapangan, dan data pemboran. Lebih dari 98% air yang ada di daratan tersembunyi di bawah permukaan tanah yang lazim disebut air tanah, dan 2% sisanya berupa air permukaan seperti sungai, danau dan reservoir. Setengah dari 2% air permukaan tersimpan dalam reservoir buatan. Air tanah memiliki peran sangat penting karena merupakan sumber air utama untuk memenuhi kebutuhan hajat hidup orang banyak, seperti air minum, rumah tangga, industri, irigasi, dan pertambangan. Diperkirakan 70% kebutuhan air bersih penduduk dan 90% kebutuhan air industri berasal dari air tanah.

Eksploitasi air tanah harus dilakukan dengan hati-hati serta mempertimbangkan keseimbangan antara discharge area (daerah lepasan) dan recharge area (daerah imbuhan/ pengisian) agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Sebelum melakukan eksplorasi dan eksploitasi air tanah perlu dilakukan deteksi untuk mengetahui tempat keberadaan air tanah, potensi airnya, dan debitnya.

Air tanah merupakan komponen dari suatu daur hidrologi yang melibatkan berbagai aspek, baik biogeofisik, politik maupun sosial budaya yang menentukan keberadaan air tanah di suatu daerah. Sumber air tanah berasal dari air yang ada di permukaan tanah (air hujan, air danau) yang meresap ke dalam tanah/akuifer di daerah imbuhan yang selanjutnya mengalir menuju daerah lepasan.

Aliran air tanah di dalam akuifer dari daerah imbuhan ke daerah lepasan sangat lambat, memerlukan waktu puluhan hingga ribuan tahun, bergantung pada jarak dan jenis batuan yang dilaluinya. Air tanah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbarui, namun jika dibandingkan dengan umur manusia, air tanah dapat digolongkan sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan.

Ditinjau dari sistemnya, akuifer terdiri atas akuifer tidak tertekan atau populer di masyarakat sebagai air tanah dangkal (soil water) dan akuifer tertekan atau dikenal sebagai air tanah dalam (ground water). Pada penelitian ini didapat nilai daya hantar listrik pada akuifer dangkal memiliki nilai antara 500 – 6250 μS/cm, dan pada akuifer dalam memiliki nilai daya hantar listrik antara 750 – 2600 μS/cm. Besarnya nilai daya hantar listrik tersebut menunjukkan bahwa kedua kecamatan tersebut merupakan daerah luahan (discharge zone). Akuifer dalam yang berkembang pada daerah kajian adalah akuifer produktif dengan aliran melalui ruang antarbutir.

Akuifer dalam yang merupakan akuifer tertekan ini memiliki daerah resapan (recharge area) di luar wilayah daerah kajian. Sedangkan akuifer dangkal yang berkembang pada kecamatan ini adalah akuifer produktif dengan aliran melalui ruang antarbutir. Akuifer dangkal yang merupakan akuifer bebas ini memiliki daerah resapan (recharge area) di atas akuifer itu sendiri. Untuk mendukung kesinambungan akuifer ini, sebaiknya pada daerah kajian terdapat seluas mungkin lahan hijau. Perlunya pembatasan lahan beton dan sebanyak mungkin dibuat sumur serta parit resapan.

Air tanah dangkal umumnya berada pada kedalaman kurang dari 40 m dari permukaan tanah. Air tanah dangkal sangat mudah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat, karena antara air tanah dangkal dan air yang ada di permukaan tanah tidak dipisahkan oleh lapisan batuan yang kedap. Jika terjadi hujan, air yang meresap ke dalam tanah akan langsung menambah air tanah ini.

Disebut air tanah dalam karena keberadaannya cukup dalam di bawah permukaan tanah, sehingga untuk memanfaatkannya harus menggunakan bor. Air tanah dalam berada pada kedalaman 40-150 m atau lebih. Akuifer ini tidak dipengaruhi oleh kondisi air permukaan setempat, karena antara air tanah dalam dan air yang ada di permukaan tanah dipisahkan oleh lapisan batuan yang kedap. Air tanah dalam berasal dari daerah resapan yang bertopografi tinggi.

Berdasarkan pendugaan geolistrik, pada daerah kajian terdapat dua jenis akuifer, yaitu akuifer dangkal yang berada di atas kedalaman 50 m bmt (di bawah permukaan tanah) dan akuifer dalam yang berada di bawah kedalaman 50 m bmt. Di kecamatan ini diperoleh hasil bahwa akuifer dangkal (kedalaman kurang dari 50 m) memiliki permukaan air tanah antara 2 – 10 m di bawah permukaan tanah setempat (bmt), sedangkan pada akuifer dalam (kedalaman lebih dari 50 m) diperoleh permukaan air tanah antara 40 m – 60 m (bmt). Hasil pengukuran permukaan air secara rinci ditampilkan dalam bentuk kontur permukaan air tanah.

Potensi air tanah di suatu cekungan sangat bergantung pada porositas dan kemampuan batuan untuk meloloskan dan meneruskan air. Di Indonesia terdapat 263 cekungan air tanah dengan total kandungan air 522,2 miliar m3/tahun, 72 cekungan di antaranya terdapat di Jawa dan Madura dengan kandungan air 43,31 miliar m3/tahun. Intensitas pengambilan air tanah yang cukup tinggi dan melampaui jumlah rata-rata imbuhannya akan menurunkan muka air tanah dan mengurangi potensi air tanah di dalam akuifer. Bila ini terjadi maka berbagai dampak negatif akan muncul, seperti intrusi air laut, penurunan kualitas air tanah, dan terjadinya tanah ambles.

Satuan dataran aluvium pantai terbentuk dari endapan pematang pantai, endapan rawa pasang surut, dan endapan dataran banjir. Sebaran satuan ini terhampar seluas sekitar 10% di bagian utara daerah kajian.

satuan Pasir Tufan

Satuan dataran aluvium sungai terdapat di bagian barat daerah kajian seluas sekitar 5%. Aliran sungai berarah selatan-utara, setempat membentuk pola dendritik, dan secara umum berpola sejajar. Satuan ini terbentuk oleh endapan batuan sedimen berupa lempung lanauan, tuf, dan batu pasir tufan.

Satuan dataran vulkanik terdapat pada bagian tengah, selatan, dan timur daerah kajian seluas hampir 85%. Dari luas daerah lahan yang telah ditentukan tadi mengisyaratkan bahwa dominan dari lahan penelitian merupakan satuan dataran vulkanik.

Air tanah dalam dapat dideteksi dengan menggunakan alat resistivity meter/terameter melalui survey geolistrik. Terameter bekerja dengan cara menembakkan arus listrik ke dalam tanah dengan memakai elektrode kemudian mengukur nilai hambatannya. Alat ini dapat menunjukkan material di bawah permukaan bumi pada kedalaman lebih dari 100 m tanpa melalui pengeboran.

Survei geolistrik merupakan salah satu metode geofisika untuk menduga kondisi geologi di bawah permukaan tanah, terutama jenis, dan sifat batuan berdasarkan sifat-sifat kelistrikan batuan. Data sifat kelistrikan batuan atau tahanan jenis dikelompokkan dan ditafsirkan dengan mempertimbangkan data kondisi geologi setempat. Sifat kelistrikan batuan dapat berbeda antara lain karena perbedaan mineral penyusunnya, porositas dan permeabilitas batuan, kandungan air, dan suhu. Dengan mempertimbangkan beberapa faktor tersebut, kondisi air tanah dalam di suatu daerah dapat diinterpretasi dengan melokalisir lapisan batuan yang berpotensi air tanah.

Pengolahan dan penghitungan data lapangan untuk mendapatkan nilai tahanan jenis yang

sebenarnya, serta interpretasi kedalaman dan ketebalannya dilakukan menggunakan perangkat lunak komputer. Berdasarkan nilai tahanan jenis sebenarnya, dapat diinterpretasi jenis batuan, kedalaman, ketebalan, dan kemungkinan kandungan air bawah tanahnya. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran daerah-daerah yang berpotensi mengandung air tanah serta dapat ditentukan titik-titik pemboran.

Untuk membatasi zona yang berpotensi mengandung air tanah, dilakukan analisis spasial dengan memadukan peta ketebalan akuifer dan overburden, peta kemiringan lereng (slope), peta kelurusan (lineament), dan peta drainase sehingga menghasilkan peta potensi air tanah.

Morfologi pada endapan aluvium pantai umumnya datar sampai sedikit bergelombang. Dari segi kuantitas, air tanah pada endapan aluvium pantai dapat menjadi sumber air tanah yang baik, terutama pada lensa-lensa batu pasir lepas. Namun demikian, dari segi kualitas air tanah pada akuifer endapan aluvium pantai tergolong buruk yamg ditandai dengan bau, warna kuning, keruh karena tingginya kandungan garam, besi, serta mangan (Fe dan Mn).

Akan tetapi kualitas air tanah yang baik umumnya dapat dijumpai pada endapan akuifer aluvium pantai berupa akuifer tertekan. Kondisi air tanah endapan aluvium pantai banyak ditentukan oleh geologi di hulunya. Endapan aluvium ini dapat menjadi tebal jika cekungan yang membatasi terus menurun karena beban endapannya, misalnya dibatasi oleh sesar/patahan turun. Akuifer pada sistem ini tersusun oleh endapan pasir halus yang belum terkompaksi dan setempat terdapat air tanah segar.

Produktivitas akuifer adalah kemampuan akuifer menghasilkan air bawah tanah dalam jumlah tertentu. Muka air bawah tanah adalah permukaan air bawah tanah didalam sumur dihitung dari muka tanah setempat atau muka laut. Peta hidrogeologi skala > 1 : 100.000 adalah bentuk ungkapan informasi yang menggambarkan pelamparan akuifer dan non akuifer bersama-sama dengan kondisi geologi, curah hujan, tampilan air permukaan, kemungkinan luah sumur dan hidrokimia pada akuifer endapan permukaan dan akuifer batuan dasar, untuk memahami rezim air bawah tanah suatu daerah/ wilayah/kawasan.

Peta konservasi cekungan air bawah tanah adalah bentuk ungkapan informasi yang menggambarkan pengaturan kedalaman penyadapan, pembatasan debit sumur produksi, pengaturan peruntukan pemanfaatan, serta zonasi kondisi air bawah tanah aman, rawan, kritis atau rusak. Peta buaian muka air bawah tanah adalah bentuk ungkapan informasi yang menggambarkan perbedaan kedudukan muka air bawah tanah pada akuifer tidak tertekan pada saat kedudukan kedalaman maksimum dan minimum suatu daerah/wilayah/kawasan.

Peta jaringan aliran air bawah tanah adalah bentuk ungkapan informasi yang menggambarkan lebar akuifer, garis kesamaan muka air bawah tanah, arah aliran air bawah tanah serta jumlah air bawah tanah pada setiap segmen aliran air bawah tanah suatu daerah/wilayah/kawasan. Pola pengaliran air tanah pada dua kecamatan tersebut relatif ke arah timur, dan terbentuk depresi konus aliran air tanah, terutama di kota Tangerang. Kondisi demikian menunjukkan dua penyebab yang memungkin, yaitu perkembangan lensa-lensa yang secara alamiah terbentuk pada daerah tersebut, atau pengambilan air tanah yang berlebihan di zone tersebut.

Pembagian sistem akuifer juga didasarkan kepada satuan unit bentuk lahan, dimana sistem akuifer yang terdapat di daerah penelitian adalah sistem akuifer dataran aluvial, sistem akuifer lembah antar perbukitan, dan sistem akuifer lereng kaki antar perbukitan. Sistem akuifer tersebut memiliki ketersediaan airtanah yang potensial, dimana keterdapatan perlapisan akuifer relative cukup tebal dari berbagai material penyusun pembentuk akuifer (pasir, kerikil, kerakal, dan aluvium). Material penyusun tersebut dipengaruhi adanya proses geomorfologi yang bekerja pada setiap satuan bentuk lahan.

Ø Cara lain dalam pencarian air bawah tanah

Upaya yang dilakukan dalam menghadapi kesulitan air di daerah yang tergolong kering adalah memompa sumur air tanah dalam. Namun, untuk mencarinya bukan hal yang mudah.
Untuk mencari sumber air tanah dalam dibutuhkan sentuhan teknologi modern.

Salah satu yang disodorkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) adalah dengan pendeteksian gas radon. Gas radon secara alami akan keluar lewat celah bebatuan. Dengan detektor radon di permukaan tanah, gas radon itu akan terlacak. Adanya gas radon mengindikasikan adanya celah bebatuan yang memungkinkan dilakukan pengeboran, tutur Kepala Pusat Bahan Galian Nuklir Batan Johan Barata.

Langkah berikutnya adalah menerapkan teknik geolistrik untuk menentukan kedalaman akuifer atau lapisan yang menampung air. Dalam hal ini, arus listrik dialirkan ke dalam bumi.

Pola arus listrik akan melewati tiap-tiap lapisan di bawah tanah ini yang tampak pada grafik pada layar monitor dapat mengindikasikan lokasi kedalaman lapisan akuifer dan potensi air di dalamnya.



Alat geolistrik ini dapat mendeteksi sumber air hingga kedalaman 450 meter. Namun, pemompaan air pada sumber sedalam itu dengan pompa yang ada saat ini tidak ekonomis, ujar Johan. Dengan pompa pendam di lubang bor (submersible) maksimum kedalaman air yang dapat diangkat, 250 meter.


Pencarian sumber air tanah dalam dengan teknik deteksi radon telah diterapkan paling awal tahun 2000 ketika Batan memulai program Iptek Daerah di Madura, antara lain di Sumenep dan Bangkalan, hingga menemukan delapan titik sumber air tanah dalam.

Ø Masalah yang muncul setelah diadakan penelitian

RABU, 19 AGUSTUS 2009

Kondisi Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta saat ini sudah memasuki zona kritis hingga rusak akibat eksploitasi air tanah di atas ambang batas normal yang direkomendasikan. Kondisi ini sangat memprihatinkan sekaligus perlu segera dicarikan penanganannya.
”Kondisi cekungan air tanah Jakarta yang mencover 3 Provinsi (DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat) saat ini kondisinya sangat kritis akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan hingga mencapai 40%, seharusnya maksimum hanya 20% agar tidak terjadi intrusi air laut ke daratan”, ujar Kepala Badan Geologi, R. Sukhyar di acara “Coffee Morning” sekaligus Penyerahan Data-Data Hasil Kegiatan Badan Geologi (13/8).
Pengambilan air tanah pada CAT Jakarta saat ini hampir melebihi setengah aliran air tanah yang masuk ke dalam akuifer menengah dan dalam, kondisi demikian dapat di kategorikan sudah memasuki zona kritis hingga rusak. Berdasarkan data Badan Geologi, DESDM, Neraca Air Tanah Jakarta saat ini adalah, potensi air tanah (dalam) 52 juta m3/thn sedangkan pengambilan air tanah (dalam) 21 juta m3/thn (40%).


Melakukan eksploitasi air tanah harus memperhatikan ketersediaannya dalam lapisan batuan dan cekungan air tanah (CAT). Pengambilan air tanah tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang disarankan akan menimbulkan perubahan pada cekungan air tanah dan menimbulkan kerusakan lingkungan seperti amblesan tanah (land subsidence) dan intrusi air laut.
Menteri ESDM beberapa waktu lalu pada Lokakarya “Pendayagunaan Air Tanah Berbasis Cekungan Air Tanah” di Gedung Prof Sudarto, Universitas Diponegoro Semarang (27/6) mengatakan, untuk mencegah dampak negatif yang timbul akibat eksploitasi air tanah yang tidak terkendali disarankan pertama, melindungi daerah imbuhan air tanah untuk mencegah terjadinya penurunan pembentukan air tanah. Kedua, mengendalikan pengambilan air tanah di daerah lepasan (groundwater discharge area) untuk mencegah penurunan ketersediaan air, menggunakan air tanah seefektif dan seefisien mungkin dengan mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Ketiga, mengelola kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara terpadu. Dan keempat, terus melakukan sosialisasi mengenai pentingnya mengelola air tanah yang berorientasi pada kelestarian lingkungan.

Ø Pengelolan

Konservasi air bawah tanah adalah pengelolaan air bawah tanah untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara serta mempertahankan mutunya. Dari penelitian tersebut mengisyratkan adanya upaya untuk melakukan konservasi air bawah tanah pada daerah Batuceper, Tangerang.

Pemerintah telah membuat sumur pantau, sumur pantau adalah sumur yang dibuat untuk memantau muka dan atau mutu air bawah tanah pada akuifer tertentu. Jaringan sumur pantau adalah kumpulan sumur pantau yang tertata berdasarkan kebutuhan pemantauan terhadap air bawah tanah pada suatu cekungan air bawah tanah.

1. Pengelolaan air bawah tanah didasarkan atas asas-asas :

a. fungsi sosial dan nilai ekonomi;

b. kemanfaatan umum;

c. keterpaduan dan keserasian;

d. keseimbangan;

e. kelestarian;

f. keadilan;

g. kemandirian;

h. transparansi dan akuntabilitas publik.

Teknis pengelolaan air bawah tanah berlandaskan pada satuan wilayah cekungan air bawah tanah:

1. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

2. Pengelolaan cekungan air bawah tanah yang melintasi wilayah Propinsi atau Kabupaten/Kota ditetapkan oleh masing-masing Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi dari Gubernur.

3. Teknis pengelolaan air bawah tanah dilakukan melalui tahapan kegiatan :

a. inventarisasi;

b. perencanaan pendayagunaan;

c. konservasi;

d. peruntukan pemanfaatan;

e. perizinan;

f. pembinaan dan pengendalian;

g. pengawasan.

Pada pasal 4 tentang inventarisasi air bawah tanah yang dikeluarkan ada dalam keputusan menteri energi dan sumber daya mineral nomor : 1451 K/10/MEM/2000 menyebutkan bahwa:

1. Kegiatan Inventarisasi meliputi kegiatan pemetaan, penyelidikan, penelitian, eksplorasi, evaluasi, pengumpulan dan pengelolaan data air bawah tanah yang meliputi :

a. sebaran cekungan air bawah tanah dan geometri akuifer;

b. kawasan imbuh (recharge area) dan lepasan (discharge area);

c. karakteristik akuifer, dan potensi air bawah tanah;

d. pengambilan air bawah tanah;

e. data lain yang berkaitan dengan air bawah tanah.

2. Semua data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik negara yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

3. Kegiatan inventarisasi air bawah tanah dilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum dan Pemerintah dalam rangka penyusunan rencana atau pola induk pengembangan terpadu air bawah tanah dan pemanfaatannya.

4. Inventarisasi air bawah tanah dalam rangka pengelolaan air bawah tanah dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota.

5. Pelaksanaan kegiatan evaluasi potensi air bawah tanah dilakukan sesuai dengan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri.

Pengambilan air bawah tanah perlu dilakukan secara terkendali dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan, kesinambungan ketersediaan, keadilan dan kelestarian air bawah tanah beserta lingkungan keberadaannya. Salah satu aspek penting dalam pengendalian air bawah tanah adalah penentuan debit pengambilan yang diperbolehkan, oleh karena itu diperlukan pedoman penentuan debit pengambilan air bawah tanah. Untuk menentukan debit air bawah tanah pada akuifer tidak tertekan dan tertekan, yaitu:

· PENENTUAN DEBIT PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH PADA AKUIFER TIDAK TERTEKAN

Penentuan debit pengambilan air bawah tanah pada akuifer tidak tertekan dengan mempertimbangkan :

1. Peta Hidrogeologi Skala > 1 : 100.000

Dari peta ini dapat diperoleh gambaran secara kualitatif / semi kuantitatif mengenai satuan hidrogeologi dan kemungkinan luah sumur pada akuifer tidak tertekan dan hidrokimia air bawah tanah tidak tertekan;

2. Peta Potensi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1 : 100.000

Dari peta ini dapat diperoleh informasi secara semi-kuantitatif / kuantitatif mengenai kedalaman akuifer tidak tertekan, muka air bawah tanah tidak tertekan, debit optimum dan jarak antar sumur, dan mutu air bawah tanah tidak tertekan.

  • PENENTUAN DEBIT PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH PADA AKUIFER TERTEKAN.

Penentuan debit air bawah tanah pada akuifer tertekan dengan mempertimbangkan :

1. Peta Hidrogeologi Skala > 1: 100.000

Dari peta ini dapat diperoleh gambaran secara kualitatif/semi kuantitatif mengenai satuan

hidrogeologi dan kemungkinan luah sumur pada akuifer tertekan dan hidrokimia air bawah

tanah tertekan;

2. Peta Potensi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1 : 100.000

Dari peta ini dapat diperoleh informasi secara semi-kuantitatif/kuantitatif mengenai kedalaman akuifer tertekan, muka air bawah tanah tertekan, debit optimum dan jarak antar sumur, dan mutu air bawah tanah tertekan;

3. Peta Jaringan Aliran Air Bawah Tanah Tertekan Skala > 1 : 50.000

Dari peta ini dapat diperoleh informasi rinci mengenai lebar akuifer, garis kesamaan muka air bawah tanah, arah aliran air bawah tanah serta jumlah aliran air bawah tanah pada setiap segmen;

4. Peta Konservasi Cekungan Air Bawah Tanah Skala > 1 : 50.000

Peta ini khusus digunakan pada daerah yang pengambilan air bawah tanahnya intensif. Dari peta ini dapat diperoleh informasi mengenai daerah-daerah yang pengambilan air bawah

tanah pada akuifer tertekan yang perlu dibatasi;

5. Hasil Uji Pemompaan

Dari hasil analisis data uji pemompaan dapat diperoleh informasi mengenai debit optimum pengambilan air bawah tanah pada akuifer tertekan sesuai kondisi air bawah tanah setempat.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, debit maksimum pengambilan air bawah tanah pada akuifer tertekan yang diperbolehkan adalah sama dengan pengambilan yang menyebabkan penurunan muka air bawah tanah hingga kedalaman bagian atas lapisan penekan (confining layer), yaitu lapisan kedap air atau lapisan lambat air yang menutupi akuifer tertekan tersebut.

Sedangkan pada pasal 8 KEPMEN th 2000 tentang upaya konservasinya, yaitu:

1. Dalam upaya konservasi air bawah tanah dilakukan pemantauan terhadap perubahan muka dan mutu air bawah tanah melalui sumur pantau.

2. Penetapan jaringan sumur pantau dalam satu cekungan air bawah tanah lintas Propinsi dan atau Kabupaten/Kota dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota yang bersangkutan dengan dukungan koordinasi dan fasilitasi Gubernur.

3. Bupati/Walikota sesuai lingkup kewenangan masing-masing menetapkan jaringan sumur pantau pada cekungan air bawah tanah dalam satu wilayah Kabupaten/Kota.

Ø Pendayagunaan air bawah tanah

1. Pendayagunaan air bawah tanah adalah pemanfaatan air bawah tanah secara optimal dan berkelanjutan.

2. Daerah imbuh air bawah tanah adalah suatu wilayah di mana proses pengimbuhan air tanah berlangsung, yang ditandai oleh kedudukan muka preatik lebih tinggi dari pada muka pisometrik;

3. Daerah lepasan air bawah tanah adalah suatu wilayah di mana proses pelepasan air bawah

tanah berlangsung, yang ditandai oleh kedudukan muka preatik lebih rendah dari pada muka pisometrik;

4. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar

dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan pengambilan air bawah tanah yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.

5. Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan pengambilan air bawah tanah.

6. Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan pengambilan air bawah tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Administrator. 2009. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor: E-mail: balitklimat@yahoo.com

Adminnistrtor. Kondisi Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta Kritis, (Online), (http:// ESDM.go.id diakses tanggal 12 November 2009)

Wati, Yuni Ika. Cekungan Jakarta, (Online), (http://digilib-ampl.net diakses tanggal 12 November 2009)

Sumawijaya, Nyoman. 1994. Prosiding Tridasawarsa Puslitbang Geoteknologi-LIPI. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI mengungkapkan pada tahun.

KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000

Jimmy Wales. 2008. Provinsi Tangerang, (Online), (http://Id.wikipedia.com/provinsi tangerang.html).

ANALISIS JURNAL GEOMORFOLOGI

Analisis ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Geomorfologi Umum

yang dibimbing oleh Bapak Drs. Sudarno Herlambang, M.Si

Oleh:

Rosalia Afin Annisakh

(208351412412)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN GEOGRAFI

Desember, 2009

2 komentar:

Copyright 2009 Geograph Lecture
Free WordPress Themes designed by EZwpthemes
Converted by Theme Craft
Powered by Blogger Templates